2013/07/09

Karena Malam Akan Segera Berakhir


Semburat ceria terpancar dalam auramu ketika kamu datang malam ini.
Aku tahu ada kisah bahagia yang siap kau bagikan. Seperti biasa, kamu berbaring di sampingku dengan mata menatap tajam, memancing untuk diterka.
Seperti biasa, aku bertanya 'siapa kali ini yang membuat kamu bahagia?'
Dan Seperti biasa kamu tersipu. 

aku siap mendengar...


Kamu bilang, dia datang membawa aura segar dalam atmosfer semu kejenuhan hidupmu. Dia datang dengan holow putih di atas kepalanya memberi uluran tangan. Bagai malaikat. 
Kamu bilang, dia memiliki senyuman yang menghangatkan kebekuan soremu. Ada rasa mendamba ketika kamu bercerita tentang rupanya, sehingga aku berpikir bahwa dia terlalu sempurna menjadi manusia.

Kamu memuja.

Lalu kamu berkeluh, bagaimana bisa dewa menyeimbangkan alamnya dengan manusia? Sehingga kamu agaknya sedikit berpikir untuk mundur. Selangkah. 
Namun, aku tahu itu bukan mundur, tapi meminta aku mendorongmu untuk maju.
Tak apa, sudah biasa. 

Aku bilang, kamu akan menjadi dewi jika bersama sang dewa. Kamu akan menjadi Permaisuri jika bersama sang Raja. 

 Sesak.

Kamu tahu, kita berkejaran seperti planet yang dicipta dengan orbitnya masing-masing. Kamu menjadi saletit yang mendamba planetmu, ketika aku mendambamu.
Aku merindukan kehadiranmu seperti matahari yang merindukan bulan, yang entah kapan, dan aku pikir mungkin mustahil untuknya saling bertemu, walaupun orang sering menyandingkan kita. toh, Kita yang memang tidak dicipta untuk bersama.

Kalau aku diperkenankan berteriak, aku akan melakukannya. Tapi untuk apa? Bukankah setiap makhluk layak mendapatkan bahagianya.
Seperti kamu yang bahagia mendambanya, dan aku yang bahagia saat ada kamu di sini, walau kadang sesak.
Tapi tak apa, asal selalu ada waktu untuk kita bisa saling berceloteh. 

 Tak apa, teruskan ceritamu. 
Seperti biasa, aku bilang aku turut bahagia dan siap bersekutu apapun yang kamu putuskan. Seperti biasa, senyumanmu menghapus jejak runtuhnya sebuah harapan.
Teruskan ceritamu, hingga aku tuli karena sesaknya dada ini semakin menghujam telingaku.
Teruskan ceritamu, bukankah sesak ini adalah alasan untuk aku bertemu kamu malam ini?


.....
Malam sebentar lagi berakhir, akhirnya kamu tertidur. Aku suka saat kamu tertidur, karena aku bisa menikmati indahnya mendambakan sesuatu yang tidak menyakitkan.

Mungkin aku terlalu rendah untuk mendamba sang bintang.
Karena bintang tercipta bukan untuk dimiliki, tapi untuk tetap menghiasi langit dan dinikmati dari kejauhan.
Biarlah aku menikmati keindahanmu dari jauh dengan ditaburi sesak. 
Tak apa, beginipun aku bahagia. Cepat atau lambat perihnya akan hilang, atau tubuhku akan mengebal karena selalu menahan sakitnya.

Karena bintang tercipta bukan untuk dimiliki, tempatnya memang di langit. Dan biarlah seperti itu. Karena, cepat atau lambat malam ini segera berakhir dan horizon akan menggariskan pagi. 
Dan saat itu sinar bintang akan padam.

04.09 WIB 
Matamu masih terpejam. Dadaku masih terhujam.



Jakarta, 2013.

2013/07/04

Surat Ini Untuk Esok

My father didn't tell me how to live; he lived, and let me watch him do it― Clarence Budington Kelland




Sebelum matahari menguntai takdirnya menghadirkan pagi. Mungkin terlalu cepat.
Tapi merupakan sebuah kebanggaan untuk merumuskan sebuah kata sederhana, untuk pribadi istimewa. 

Kepada orang berdiri tegak pada prinsipnya, yang selalu tak tergoyahkan berpegang idealismenya. 
Orang yang mengalami metamorfosis sempurna dalam perjalanan hidupnya. 
Pembelajar tanggung yang tak mengenal kata terlambat. Guru yang mengajarkan arti kebijaksaan dalam hidup. 
Seseorang yang hidupnya mengikuti aliran, santai. Namun, tau caranya bersenang-senang. 
Orang yang keinginannya berjalan dengan Tuhannya. 

Selamat ulangtahun Papa. Semoga selalu disayang Tuhan. Selalu bisa menghadirkan Tuhan dalam jiwa manusia.
Semoga dapat membawa kami untuk berkumpul bersama kembali, suatu saat, di surga. Amin. 

Ketika mama adalah orang yang lewat tangannya membuatku percaya bahwa Tuhan ada. Papa adalah orang yang mengajariku cara dan jalan agar dapat bertemu Tuhan


Jakarta, 4 Juli 2013.

2013/06/28

Kotak Mimpi

Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_plotpoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.

Kotak Mimpi


Biasanya hujan adalah favoritku, karena aku merasa teranugerahi dari langit. Tapi kali ini terasa kurang, karena ada ruang hampa udara di dada terasa lebih melebar dengan atmosfer saat hujan.
Hari ini aku masih berdiri di ujung harapan, sambil membawa kotak yang kita namakan Kotak Mimpi. Kamu enggan menemuiku.  Aku tahu, ini tandanya aku dipaksa bersepakat untuk saling menjauh. Saling berjalan membelakangi, dengan alasan menemukan sebuah teori yang kamu sebut 'kelebihbaikan', yang aku kurang mengerti.

Tapi semenjak kesepakatan ini, aku mulai meragukan Teori Gravitasi Newton, aku seperti berjalan melayang. Ruang hampa udara muncul dalam paru-paru. Ruangan tersebut tidak terisi udara, seperti ada atmosfer lain yang menghalangi udara masuk, walau aku menghirup dalam nafasku.

Ah, Mungkin itu adalah ruangan tempat kebahagiaanku yang terbawa kamu saat kamu berkemas pergi mencari kebenaran teori 'kelebihbaikan'mu. Teori yang mau tidak mau harus aku terima, walaupun aku kurang setuju. Karena mungkin memang ada banyak yang yang lebih baik di luar sana.
Tapi, bukannya teori tersebut masih terlalu absurd?

Hari ini aku dipaksa bersepakat meruntuhkan harapan dalam Kotak Mimpi kita. Merobek lembaran yang kita tulis bersama, mimpi-mimpi yang kita berjanji akan mencapainya bersama.

Hari ini aku masih menggenggam kotak mimpi kita, berharap ada keajaiban yang membuatmu terbangun untuk kembali mau membingkai mimpi kembali. Namun, tampaknya hari ini aku dipaksa bersepakat untuk tidak lagi bersepakat mewujudkan kegilaan dalam otak kita, mewujudkan keajaiban dalam dunia kita. Sesak menyeruak dalam dada ketika tahu bahwa upaya kita akan berakhir.

Bukan perpisahan yang menyesakkan, tapi kenyataan bahwa kita akan kembali bertemu, suatu saat, menjadi orang lain. dan bagaimana mimpi gila kita tidak lagi bernilai dan terbuang layaknya sampah.

Aku hanya menakutkan satu hal. Lupa.
Kita berjalan ke arah berlawanan, kemudian kita saling membentuk diri, kemudian kita bertemu kembali dan menjadi orang asing. Bahwa takut aku lupa pernah sebegini merindukanmu, aku lupa bagaimana rasa mencintaimu seperti hari ini.

Mungkin kamu tidak pernah tau ketakutan ini. Karena menurutmu itu adalah konsep di kepalaku, yang kamu sebut sebagai ketakutan yang berlebihan.

Hari ini, aku yang masih berdiri di depan pintu rumahmu dan masih berharap kamu berpikir ulang. Aku masih menunggu.

Akhirnya, aku putuskan untuk mengubur kotak mimpi kita. Bersamanya kita kubur semua yang pernah terjadi.
Kenangan berputar saat ini. Ingat bagaimana kamu sangat bermimpi untuk berbungee jumping dari menara eiffel?
ingat bagaimana kamu bermimpi gila untuk menjelajah Bima Sakti?
Ingat bagaimana kamu tulis dalam kertas, bahwa kita akan menjadi satu entitas yang tidak terpisahkan?

Hari ini, aku tertawakan konsep rasionalitas otak manusia dan bagaimana otak bekerja. Bagaimana bisa hari ini manusia merasa saling memiliki, kemudian hari manusia bisa saling menjauhi?
Bagaimana bisa dulu kita merasa saling melengkapi, hari ini kita merasa saling membebani? Lucu bahwa mimpi irasional kita lebih menarik daripada kerasionalan yang kamu baru pahami. Dan itu yang membuat kamu pergi.

Baiklah, ambillah semua yang kamu inginkan dan pergilah. Kalau suatu saat kita bertemu, jangan pernah lagi mengajak aku untuk membangun mimpi bersama.
Hari ini, kamu berhasil menghancurkan galaksi impianku. Semoga bukan kamu lagi yang akan membangunnya.

Mari berjalan…


Dan jangan datang lagi.